Revisi UU Sisdiknas Mendesak

1 day ago 2
ARTICLE AD BOX
Menurut Sabam, kondisi pendidikan Indonesia menghadapi berbagai persoalan mendasar, seperti intimidasi terhadap guru, bullying di kalangan siswa, hingga ketimpangan infrastruktur pendidikan antarwilayah, terutama di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). 

“Banyak hal yang menjadi perhatian, dari intimidasi terhadap guru, bullying siswa, hingga sarana prasarana yang belum memadai. Belum lagi soal perbedaan kualitas pendidikan antarwilayah yang masih besar,” ujar Sabam dalam Forum Legislasi bertema Revisi UU Sisdiknas untuk Sistem Pendidikan yang Inklusif dan Berkeadilan di Gedung Nusantara I Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (3/6).

Sabam menyinggung keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pembebasan biaya sekolah swasta. Ia menyebut, keputusan ini sebagai peluang untuk melakukan evaluasi terhadap skema pembiayaan pendidikan. “Ini waktu yang tepat untuk merevisi pembiayaan pendidikan secara menyeluruh, termasuk memetakan kembali pos-pos anggaran lintas kementerian,” kata Sabam.

Dalam kajian Komisi X, Sabam menemukan, bahwa alokasi dana pendidikan di sejumlah kementerian non-teknis jauh lebih besar dibanding yang dialokasikan untuk kementerian teknis. Ia menyebut rasio pembiayaan per mahasiswa bisa mencapai 1 banding 14. “Informasi yang kami dapat, biaya per mahasiswa di lembaga lain bisa 14 kali lebih tinggi dibanding PTN atau PTS. Ini ketimpangan yang harus dibenahi,” tegasnya. 

Lebih jauh, Sabam mempertanyakan urgensi lembaga pendidikan tinggi yang berada di luar Kemendikbudristek, padahal program serupa telah tersedia di PTN dan PTS. “Kalau di kementerian kesehatan ada poltekkes di hampir semua provinsi, padahal universitas negeri dan swasta juga punya jurusan yang sama. Apakah ini masih relevan untuk diteruskan?," ucapnya.

Sementara Anggota Komite III DPD RI, Lia Istifhama menilai, Revisi UU Sisdiknas harus mampu menjawab persoalan mendasar di dunia pendidikan, terutama dalam mewujudkan pendidikan yang inklusif, adil, dan berorientasi pada perlindungan guru serta peserta didik. Lia menyoroti masih banyaknya celah dalam pelaksanaan pendidikan inklusif, terutama bagi penyandang disabilitas. “Contohnya di Surabaya, kelas inklusif hanya tersedia kalau ada laporan resmi soal siswa difabel. Kalau tidak ada laporan, ya tidak ada kelas. Padahal tidak semua orang tua tahu atau paham cara melapor,” ucap Lia. 

Perhatian khusus juga Lia berikan pada kesejahteraan guru dan beban administratif yang kerap kali membebani mereka. Ia menegaskan, profesi guru perlu mendapat perlindungan hukum yang kuat dalam UU Sisdiknas yang baru. Jangan sampai, katanya, guru justru mudah disalahkan atau dipecat hanya karena persoalan administratif atau kesalahan yang tidak proporsional. “Kita tidak sedang melegalkan kesalahan guru. Tapi guru harus diberi ruang aman agar bisa fokus pada peran utamanya: mendidik. Jangan sedikit-sedikit dilaporkan dan langsung diberhentikan,” tegasnya. 

Lia pun, mengajak seluruh pihak menjaga semangat perubahan UU Sisdiknas agar benar-benar berpihak pada peserta didik, tenaga pendidik, dan prinsip keadilan sosial. “Mari kita wujudkan pendidikan berkualitas dan berkeadilan. Kalau itu terwujud, generasi emas bukan lagi harapan, tapi kenyataan,” ucap Lia.

Sementara Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Atip Latipulhayat menegaskan, bahwa Revisi UU Sisdiknas merupakan langkah strategis untuk menyatukan seluruh elemen pendidikan nasional ke dalam satu sistem yang utuh.

“Revisi ini bukan hanya karena UU-nya sudah berumur 22 tahun, tetapi karena ada kebutuhan untuk menyatukan semua komponen pendidikan yang selama ini terfragmentasi. Kita ingin kembali ke fitrahnya, satu sistem pendidikan nasional,” imbuh Atip.

Atip mengungkapkan, bahwa Revisi UU Sisdiknas sejatinya merupakan inisiatif DPR. Namun, sebagai kementerian teknis, Kemendikbudristek ikut merespons dengan menyiapkan masukan substansial, terutama dalam konteks pendidikan dasar dan menengah. Ia menjelaskan bahwa dalam praktiknya, publik cenderung menganggap UU Sisdiknas hanya mengatur pendidikan dasar dan menengah. Padahal, seharusnya undang-undang ini menjadi payung bagi semua jenjang pendidikan, termasuk pendidikan tinggi dan pesantren. k22
Read Entire Article