ARTICLE AD BOX
Jro Ketut Sudiarsa, tokoh spiritual yang juga Mangku Pura Pat Payung, menyebut komunikasi antara masyarakat dan pihak pengelola kawasan selalu terbuka, meski tidak selalu diumumkan secara luas.
“Keterbukaan untuk berkomunikasi selalu kita jalin dan jaga bersama. Tidak semua hal perlu diumumkan, yang penting ada kepercayaan dan itikad baik,” ujar Jro Ketut.
Ia menyampaikan, pihaknya tetap mendukung rencana pembangunan KEK Kura Kura Bali, seraya berharap proses berjalan lancar sesuai harapan semua pihak. “Semoga Ida Betara Dalem Pat Payung memberikan tuntunan agar harapan dari pihak BTID dilancarkan. Rahayu,” tambahnya.
Senada disampaikan Bendesa Desa Adat Serangan, I Nyoman Gede Pariatha. Ia menegaskan pentingnya menjaga harmonisasi dengan seluruh pihak, termasuk investor yang berkegiatan di wilayah adat Serangan.
“Amanah saya sebagai bendesa adat adalah menjaga keharmonisan dengan Tuhan, manusia, dan alam. Hubungan kami dengan BTID selalu baik. Segala sesuatu dibicarakan dan diselesaikan secara komunikatif,” jelasnya.
Menurutnya, keberadaan kawasan Kura Kura Bali merupakan bagian dari teritori adat Serangan. Karena itu, keterlibatan warga dalam proses pembangunan menjadi hal yang wajar dan diharapkan memberi manfaat langsung. “Investasi di sini harus melahirkan kesejahteraan untuk warga,” ujarnya.
Ia juga mengisahkan bagaimana BTID tetap menunjukkan komitmen sosial, bahkan di masa sulit seperti saat pandemi Covid-19. Menurutnya, perusahaan tidak melakukan PHK terhadap karyawan asal Serangan saat pandemi melanda.
“Saat perusahaan lain melakukan PHK massal, di Serangan justru tetap ada perputaran ekonomi karena warga masih digaji. Ini sangat luar biasa,” katanya.
BTID juga disebut telah menyerahkan lahan seluas 7,3 hektare untuk masyarakat, lebih dari kesepakatan awal tahun 1998 yang menyebutkan 6,5 hektare. Fasilitas umum, seperti lahan parkir untuk upacara di Pura Sakenan, juga disediakan tiap Galungan dan Kuningan.
Lurah Serangan, Ni Wayan Sukanami, menambahkan bahwa kontribusi pengelola kawasan sangat terasa di masyarakat. Salah satu yang paling dikenang adalah pembangunan jembatan penghubung menuju Pura Sakenan.
“Dulu kalau sembahyang ke Pura Sakenan harus naik jukung, dan saat surut harus jalan kaki. Sekarang berkat pengembangan kawasan, ada jembatan yang memudahkan warga,” terangnya.
Menurutnya, hampir semua permohonan masyarakat selalu dikondisikan dengan baik oleh pihak BTID, melalui komunikasi dua arah.
Di tengah dinamika yang kerap diwarnai pro dan kontra, kolaborasi yang senyap namun konsisten ini menunjukkan bahwa pembangunan kawasan dapat selaras dengan nilai-nilai lokal dan budaya komunitas. Bukan dengan sorotan besar, melainkan lewat dialog dan langkah-langkah konkret yang dirasakan langsung oleh warga.