Industri Event di Bali Kolaps

3 weeks ago 4
ARTICLE AD BOX
DENPASAR, NusaBali
Kebijakan efisiensi anggaran pemerintah yang tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 mulai menimbulkan dampak serius terhadap industri event dan MICE (Meetings, Incentives, Conferences, Exhibitions), terutama di daerah pariwisata seperti Bali. Ribuan pekerja dan pelaku usaha di sektor ini kini berada di ujung tanduk akibat pembatalan dan pemangkasan kegiatan berbasis anggaran pemerintah.

Hasil survei cepat yang dilakukan Dewan Pengurus Daerah (DPD) Industri Event Indonesia (IVENDO) Bali menunjukkan lebih dari 85 persen pelaku industri event di Bali mengalami penurunan pendapatan signifikan hanya dalam triwulan pertama 2025. Sebanyak 750 event diperkirakan terdampak pemangkasan anggaran perjalanan dinas, rapat, seminar, dan pelatihan yang biasa diselenggarakan instansi pemerintah.

“Kerugian yang ditaksir mencapai Rp 3,15 triliun mencakup hilangnya pendapatan bagi EO, vendor produksi, tenaga kerja lepas, serta sektor pendukung seperti perhotelan, transportasi, dan UMKM,” ujar Ketua DPD IVENDO Bali, Grace Jeanie, Kamis (20/3) malam.

Industri event, kata Grace, adalah salah satu tulang punggung ekonomi Bali. Jika event-event besar dibatalkan atau dikurangi anggarannya, maka bukan hanya penyelenggara yang terdampak, tetapi juga ribuan pekerja di sektor ini.

Diperkirakan sekitar 2.500 pekerja tetap dan tidak tetap di sektor ini terancam kehilangan pekerjaan atau mengalami penurunan penghasilan drastis. Efek domino juga dirasakan sektor pendukung yang selama ini terintegrasi dengan kegiatan event dan MICE.

Selain menyuarakan keprihatinan, IVENDO Bali juga menyampaikan lima rekomendasi kepada pemerintah agar efisiensi anggaran tetap bisa dijalankan tanpa mematikan industri event. Rekomendasi tersebut mencakup revisi kebijakan implementasi efisiensi, pemberian insentif seperti keringanan pajak dan perizinan, mendorong event berbasis digital atau hybrid, kolaborasi dengan sektor swasta melalui skema Public-Private Partnership (PPP), dan pengembangan sektor pariwisata alternatif seperti wellness tourism.

Grace Jeanie juga mengusulkan agar pemerintah mempertimbangkan pemberian relaksasi perbankan bagi pelaku industri event. “Kami membayangkan rekan-rekan yang saat ini masih memiliki kredit usaha atau cicilan bank. Mungkin perlu dipertimbangkan pembebasan bunga dan penundaan pembayaran pokok,” ujarnya.

Sebelumnya DPP IVENDO juga memaparkan hasil Survei Industri Event Nasional 2024-2025. Ketua Umum IVENDO, Mulkan Kamaludin, menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2024 tercatat sebanyak 8.777 event diselenggarakan di 34 provinsi dengan nilai ekonomi mencapai Rp84,46 triliun. Jumlah ini menggerakkan sekitar 8,8 juta tenaga kerja dari berbagai subsektor. Namun, setelah Inpres 1/2025 diberlakukan, per 11 Februari 2025 sudah terjadi 638 pembatalan atau penundaan event di 32 provinsi.

Dari jumlah tersebut, pembatalan terbanyak terjadi pada kegiatan meeting (50,64%), incentive (12,82%), dan pelatihan/training (10,90%). “Kebijakan efisiensi ini berpotensi memperlemah struktur ekonomi kreatif dan pariwisata nasional, yang selama ini sangat bergantung pada industri event dan MICE,” kata Mulkan.

Menurut studi Oxford Economics tahun 2018, industri event global berkontribusi 2,5 triliun dollar AS terhadap ekonomi dunia dan menyerap 26 juta tenaga kerja. Di Indonesia, sektor ini memberikan kontribusi Rp 120 triliun terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan menopang sekitar 278.000 pekerja. “Di Bali, sektor ini bahkan menjadi salah satu penggerak utama ekonomi lokal di luar pariwisata berbasis alam dan budaya,” ujar Grace.

DPD IVENDO Bali pun berharap agar pemerintah pusat maupun daerah dapat melakukan evaluasi kebijakan secara menyeluruh dengan melibatkan asosiasi dan pelaku industri. “Kami tidak menolak efisiensi, tapi harus adil. Industri ini sudah banyak berkontribusi dalam pemulihan ekonomi pasca-pandemi,” tuntas Grace Jeanie. 7 mao
Read Entire Article