Dua Bulan Mengungsi, Warga Kena Sanksi Adat Kanorayang Belum Bisa Pulang

1 day ago 5
ARTICLE AD BOX
Sanksi Kanorayang berarti warga diusir secara adat dan dicabut seluruh hak-hak adatnya. Selama hampir dua bulan, mereka hidup dalam ketidakpastian status, tanpa kejelasan kapan dapat pulang ke kampung halaman.

“Kami ingin kejelasan. Sudah dua bulan kami tinggal di SKB, secara fasilitas memang baik, tapi secara mental kami tertekan,” ujar Made Sudiarta, salah satu warga terdampak, Jumat (30/5/2025).

Awal pengungsian berlangsung sangat ketat. Warga dewasa tidak diizinkan keluar, anak-anak tak bisa sekolah, dan para orang tua tidak bisa bekerja. Baru sejak Mei, ada sedikit kelonggaran. Anak-anak mulai bisa kembali bersekolah, dan sebagian orang tua sudah bisa bekerja meski tetap harus kembali ke tempat pengungsian setiap harinya.

“Anak-anak sekarang sekolah dengan sistem antar jemput oleh keluarga. Ada juga yang tinggal sementara di rumah keluarga atau kost, tapi tetap belum boleh pulang resmi ke rumah sendiri,” lanjut Made Sudiarta.

Kondisi ini makin pelik bagi warga yang memiliki anak memasuki tahun ajaran baru. Mereka bingung harus mendaftarkan anaknya ke sekolah mana. “Anak saya ingin sekolah di kampung, tapi dia sekarang trauma dan takut bertemu banyak orang,” ungkap salah satu warga yang minta identitasnya tidak disebut.

Warga terdampak juga mengungkapkan bahwa beberapa rumah mereka memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM). Mereka mempertanyakan dasar hukum pengusiran kolektif ini yang belum diikuti kejelasan dari pihak berwenang.

“Kalau terus seperti ini, kami seakan tidak memiliki hak tinggal di rumah sendiri. Kami seperti bukan hidup di negara hukum dan demokrasi,” tegas Made Sudiarta.

Pengusiran Kolektif, Anak-Anak Trauma

Seperti diberitakan sebelumnya, sanksi adat Kanorayang dijatuhkan oleh pihak Banjar Sental Kangin pada 30 Maret 2025 malam. Pengusiran berlangsung dalam suasana mencekam. Anak-anak menjerit ketakutan saat sekelompok warga datang ke rumah mereka. 

Data yang dihimpun menyebutkan, terdapat enam anak dan dua lansia dalam kondisi sakit yang ikut terdampak pengusiran. Mereka sempat dievakuasi ke Polsek Nusa Penida sebelum akhirnya dipindahkan ke SKB Banjarangkan.

Dinas Sosial sempat menawarkan sekolah baru untuk anak-anak, namun mereka menolak dan memilih tetap bersekolah di Nusa Penida. Sejak 5 Mei, mereka diizinkan kembali ke sekolah lama, namun belum bisa pulang ke rumah masing-masing.

“Yang kami harapkan sekarang hanya satu: bisa pulang ke rumah sendiri. Anak-anak terus bertanya kapan bisa tidur di tempat tidur mereka sendiri,” ujar Made Sudiarta.

Warga berharap ada mediasi dan solusi konkret dari pemerintah daerah maupun Majelis Desa Adat (MDA) agar mereka bisa pulang dengan aman dan bermartabat.

Read Entire Article