Bali Didera Anomali Turis Mancanegara

1 day ago 3
ARTICLE AD BOX
DENPASAR, NusaBali
Di tengah pulihnya jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke Bali pascapandemi, tahun 2024 mencapai 6,4 juta orang, muncul sebuah anomali. Tingkat keterisian hotel-hotel (occupancy) di Pulau Dewata malah turun. 

Anggota DPRD Badung I Wayan Puspa Negara dalam keterangannya belum lama ini, menyoroti fenomena itu khususnya di Kabupaten Badung. Dia menduga penyebabnya adalah pertumbuhan pesat akomodasi wisata di luar kontrol. Beberapa pengelola hotel mengeluhkan kondisi ini karena dianggap tidak wajar mengingat jumlah wisatawan yang terus bertambah. "Pariwisata di Bali berkembang sangat cepat, khususnya dalam sektor akomodasi wisata. Banyak wisatawan kini lebih memilih tinggal di villa private dibanding hotel," ujar anggota Komisi I DPRD Kabupaten Badung, ini. 

Menurutnya, villa private menjadi pilihan utama karena menawarkan kenyamanan lebih bagi wisatawan. Hunian ini dikelola oleh individu, baik warga lokal maupun asing, dan tersebar di kawasan seperti Canggu, Berawa, Pipitan, Tegal Gundul, Seseh, hingga daerah terpencil lainnya di Badung. 

Fenomena ini diperparah dengan munculnya berbagai jenis akomodasi wisata alternatif seperti pent house, ton house, strata title, kondotel, kondo villa, hingga time sell, yang semakin mempersempit pangsa pasar hotel konvensional. 

Setali tiga uang, Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati (Cok Ace), juga menyebut ada paradoks yang terjadi jika dilihat jumlah kunjungan wisatawan yang mengalami peningkatan namun dari okupansi hotel justru menurun. Penurunan okupansi secara global mencapai 10 persen. “Bahkan beberapa hotel ada jauh turunnya sampai 20 persen,” katanya.

Ketua Umum Bali Villa Rental and Management Association (BVRMA) Kadek Adnyana mengungkapkan dari survei yang mereka lakukan bisnis vila ilegal banyak ditemui di wilayah Canggu, Uluwatu, dan Ubud. Hal ini terasa ketika para broker ini melihat jumlah wisatawan yang datang tidak sebanding dengan okupansi akomodasi resmi. “Tiga daerah ini sangat padat, kalau kami hitung berdasarkan tamu yang tinggal di sana dengan kepadatan seperti itu tidak cocok sebenarnya, kebetulan kami melakukan survei ternyata ada komunitas tidak terdeteksi di sana yang melakukan bisnis ilegal,” ujarnya.

“Kami bandingkan dengan jumlah wisatawan yang ada tidak cocok dengan okupansi yang kami miliki, entahlah mereka tinggal di vila bodong tidak berizin atau justru memiliki vila sendiri yang kami tidak deteksi,” tandas Adnyana.

Pengamat pariwisata Prof Dr I Putu Anom BSc MPar, mengatakan vila, homestay hingga kos-kosan elit banyak bermunculan yang tidak memiliki izin pariwisata. Terlebih banyak wisatawan yang saat ini beralih melakukan pemesanan lewat online (daring). "Ini kasus-kasus yang harus dicermati. Dan ada wisatawan yang lama tinggal di Bali terus meng-handle teman-temannya. Itu harus dilarang, pemerintah harus tegas. Wisatawan yang visa berwisata nggak boleh berbisnis," ungkapnya.

Pemasaran bangunan yang tidak memiliki izin pariwisata ini kata dia bebas dari kewajiban Pajak Hotel dan Restoran (PHR) sehingga ada pendapatan daerah yang bocor. Karena itu pemerintah diharapkan bisa menindak tegas akomodasi pariwisata yang tidak berizin. Apalagi PHR merupakan salah satu sumber pendapatan terbesar pemerintah daerah di Bali, khususnya di wilayah Kabupaten Badung, Kota Denpasar, dan Kabupaten Gianyar.  

Pemerintah Provinsi Bali bahkan menjadikan PHR di ketiga wilayah itu untuk mendorong pemerataan pembangunan antarwilayah di Pulau Dewata. Melalui skema BKK (Bantuan Keuangan Khusus), ketiga kabupaten/kota akan menyisihkan 10 persen pendapatan PHR kepada enam kabupaten lain di Provinsi Bali. Dana tersebut akan disalurkan untuk mendukung pembangunan proyek strategis dan infrastruktur penting di enam kabupaten penerima, dengan tujuan memperkuat sinergi pembangunan antarwilayah dan mengurangi ketimpangan ekonomi serta sosial di Bali. “Kesepakatan ini adalah bentuk nyata semangat menyama braya dan gotong royong antardaerah. Pembangunan Bali harus menyeluruh dan merata, tidak hanya terpusat di wilayah selatan,” tegas Gubernur Koster saat penandatangan perjanjian BKK dua pekan lalu. 

Sementara itu, Dinas Pariwisata (Dispar) Provinsi Bali telah menjadwalkan pertemuan dengan jajaran dinas pariwisata kabupaten/kota dan asosiasi hotel terkait isu banyaknya wisatawan mancanegara (Wisman) di Bali, namun tidak sesuai dengan keterisian (okupansi) hotel. Pertemuan ini pun digelar atas arahan Kementerian Pariwisata (Kemenpar) RI. Kadispar Bali Tjokorda Bagus Pemayun di Denpasar, mengatakan pertemuan ini untuk memeriksa fakta dari isu banyaknya wisatawan mancanegara di Bali yang tidak sesuai dengan keterisian hotel. “Dari Kemenpar melihat tren ini wisatawan ramai tapi hotel sepi karena ada pemberitaan. Kami akan bahas, saya dengan deputi di Kemenpar akan mengundang kepala dinas pariwisata se-Bali dan asosiasi akomodasi,” sambung Tjok Pemayun. 

Dispar Bali menjadwalkan pertemuan ini dilakukan pada Senin, 28 April 2025 mendatang di kantornya Jalan Letjen S Parman, Niti Mandala Denpasar. Tjok Pemayun mengatakan dalam pertemuan ini mereka akan mencocokkan kondisi di lapangan dengan data kunjungan yang juga berkolaborasi dengan Badan Pusat Statistik (BPS) Bali dan Bank Indonesia (BI) Bali sehingga isu di media sosial dapat terjawab.

Tjok Pemayun enggan percaya sepenuhnya kabar soal rendahnya keterisian akomodasi seperti hotel dan vila legal sementara wisatawan mancanegara yang datang banyak. Hal ini lantaran belum lama Indonesian Hotel General Manager Association (IHGMA) melaporkan kondisi yang baik-baik saja, dengan keterisian hotel yang tidak timpang dengan kunjungan wisatawan mancanegara (Wisman). “IHGMA bilang justru kemarin itu lumayan tingkat huniannya, itu kemarin lumayan banyak dia dapat wisatawan mancanegara,” kata Tjok Pemayun. 7adi 
Read Entire Article