APBN Defisit Rp31,2 Triliun, Rupiah Melemah, Ekonom Desak Reformasi Fiskal

3 hours ago 1
ARTICLE AD BOX
“Defisit ini masih sesuai dengan rencana fiskal tahunan. Kami memang melakukan strategi front loading dalam pembiayaan anggaran di awal tahun,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTa Edisi Maret 2025 di Jakarta, Kamis (13/3/2025).

Pendapatan negara hingga akhir Februari tercatat sebesar Rp316,9 triliun atau 10,5 persen dari target APBN tahun ini yang mencapai Rp3.005,1 triliun. Dari angka tersebut, penerimaan perpajakan menyumbang Rp240,4 triliun, sementara penerimaan negara bukan pajak (PNBP) mencapai Rp76,4 triliun.

Di sisi belanja, pemerintah telah merealisasikan Rp348,1 triliun atau 9,6 persen dari total target belanja negara sebesar Rp3.621,3 triliun. Belanja pemerintah pusat mencapai Rp211,5 triliun, terdiri atas belanja kementerian/lembaga Rp83,6 triliun dan belanja non-K/L Rp127,9 triliun. Sementara itu, transfer ke daerah (TKD) sudah terealisasi Rp136,6 triliun.

Dengan defisit yang mulai muncul sejak awal tahun, keseimbangan primer —selisih pendapatan negara dikurangi belanja di luar pembayaran bunga utang— masih mencatat surplus sebesar Rp48,1 triliun.

Namun, realisasi pembiayaan anggaran terpantau cukup tinggi dalam dua bulan pertama tahun ini, yakni mencapai Rp220,1 triliun atau 35,7 persen dari target tahunan. Sri Mulyani menyebut hal ini sebagai bagian dari strategi pengelolaan fiskal yang mengedepankan kehati-hatian dan antisipasi dinamika global.

Pelemahan Rupiah dan Dampaknya

Dalam kesempatan yang sama, Sri Mulyani juga menyoroti pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, yang kini menembus angka Rp16.340 per dolar AS per 10 Maret 2025, dan bahkan mencapai Rp16.452 pada penutupan perdagangan Rabu (12/3).

Menurutnya, pelemahan rupiah disebabkan oleh meningkatnya ketidakpastian global, terutama setelah Presiden AS Donald Trump kembali menjabat dan mengeluarkan serangkaian kebijakan proteksionis. “Gejolak global ini terefleksi pada pasar keuangan, termasuk nilai tukar rupiah,” katanya.

Sementara itu, imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara (SBN) 10 tahun juga mengalami fluktuasi, tercatat 6,88 persen pada 10 Maret, dengan rata-rata tahun berjalan di 6,98 persen. Meski demikian, pemerintah memastikan pasar SBN tetap stabil dan kompetitif.

Ekonom: Fondasi Fiskal Terkikis, Perlu Reformasi

Ekonom dan pakar kebijakan publik dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai defisit APBN sebesar Rp31,2 triliun di awal tahun merupakan sinyal kuat bahwa fondasi fiskal Indonesia tengah tertekan.

“Jika dibandingkan dengan Februari 2024 yang mencatat surplus Rp26,04 triliun, maka defisit tahun ini menunjukkan tekanan fiskal yang signifikan, apalagi pendapatan negara dan penerimaan pajak mengalami penurunan drastis,” kata Achmad kepada ANTARA.

Pendapatan negara turun 20,85 persen dari periode yang sama tahun lalu, sedangkan penerimaan pajak merosot hingga 30,19 persen. Ia menyoroti implementasi sistem perpajakan baru, Coretax, sebagai salah satu penyebab lambatnya pemungutan pajak.

“Coretax diharapkan menjadi tulang punggung modernisasi, tapi malah menyulitkan wajib pajak. Ini perlu dievaluasi secara independen,” tegasnya.

Lebih lanjut, Achmad memperingatkan jika tidak segera dilakukan reformasi fiskal, defisit bisa membengkak hingga Rp800 triliun atau 3 persen dari PDB. Ia merekomendasikan tiga langkah utama: audit sistem Coretax, evaluasi belanja yang tidak produktif, dan optimalisasi pendapatan negara dari BUMN serta aset negara.

“Indonesia butuh tindakan nyata. Ini bukan saatnya sekadar optimis, tapi waktunya melakukan reformasi fiskal yang terukur dan konkret,” pungkas Achmad.

Fitch Soroti Risiko APBN dan SWF

Sementara itu, lembaga pemeringkat Fitch baru-baru ini mengafirmasi peringkat kredit Indonesia di level ‘BBB’ dengan outlook stabil. Namun, mereka juga menggarisbawahi potensi ketidakpastian fiskal, risiko pembengkakan defisit, dan tantangan eksternal seperti melemahnya permintaan dari China serta kebijakan tarif tinggi AS.

Fitch juga mencermati pembentukan Dana Kekayaan Negara (SWF) Danantara. Meski dinilai punya potensi jangka panjang, risiko kewajiban kontijensi tetap harus diawasi ketat oleh pemerintah.

Dengan kombinasi tekanan eksternal, pelemahan rupiah, dan kinerja fiskal yang menurun, para pengamat sepakat bahwa 2025 bukanlah tahun fiskal biasa. Pemerintah diharapkan mampu melakukan penyesuaian cepat agar keberlanjutan fiskal tetap terjaga. *ant

Read Entire Article